TERNATE, MALUTTODAY.com – Koleksi temuan disejumlah paket kegiatan milik Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Maluku Utara (Malut) dengan Rumah Sakit Umum (RSU) Sofifi serta Rumah Sakit Umum Daerah Chasan Boeserie (RSUDCB), ternyata bernilai miliaran rupiah.
Temuan yang bersifat administratif dan pengembalian ini termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang direkomendasikan untuk segera diselesaikan dalam waktu 60 hari setelah LHP diterima Pemprov Malut.
Hal tersebut diungkap panitia khusus (Pansus) LHP BPK, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Malut, saat rapat Pansus bersama dengan pihak Dinkes, RSU Sofifi dan RSUDCB. Di Sekretariat DPRD Eks Mandiri Ternate, Kamis (6/6/2023).
Zulkifli Hi. Umar selaku Wakil Ketua Pansus menjelaskan, bahwa Pansus LHP ini berkaitan dengan tindak lanjut atas temuan BPK, karena LHP sudah diterima Pemprov maka oleh DPRD membuat pansus untuk bicarakan masalah tindak lanjut temuan tersebut.
“Ada beberapa macam temuan, ada temuan yang sifatnya administratif dan pengembalian. Setiap tahun itu LHP BPK ada temuan, ada yang ditindaklanjuti dan ada pula tidak ditindaklanjuti. Dimana yang tidak ditindaklanjuti akan terbawa ke tahun berikutnya,” jelas Zulkifli
Zulkifli menyebutkan terdapat temuan pada pembangunan fisik RSU Sofifi yang bermasalah karena pekerjaannya tidak selesai, kemudian temuan denda keterlambatan pembangunan gedung radiologi serta kegiatan Covid-19.
“Temuan senilai Rp. 123 Miliar dalam pembangunan fisik RSU Sofifi itu intinya meminta kepada Pemerintah Provinsi untuk berkoordinasi dengan PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) agar melanjutkan pengerjaan karena sampai saat ini baru 20,6%,” ungkap Zulkifli.
Lanjutnya, karena progres pembangunan fisik itu baru capai 20,6 persen sementara waktu pelaksanaan sudah habis. Dalam LHP, tercatat jika ada beberapa hal yang tidak dipedomani dalam proses pengadaan pembangunan itu, walaupun sudah disanggah Dinkes Malut.
“Sehingga rekomendasinya meminta Dinkes untuk menindaklanjuti proses pembangunannya dengan APBD. Maka pointnya ialah berkoordinasi dengan PT. SMI untuk keberlanjutan, bisa jadi penghentian dengan PT. SMI dan menggunakan APBD,” kata Zulkifli
Oleh karena itu, temuan tersebut bukan pengembalian tetapi Dinkes Malut berkoordinasi dengan PT. SMI dalam melanjutkan pembangunan, karena pembangunan fisik ini baru fondasi dan tiang pancang, sekitar 20,6 persen. Imbuhnya.
Pihaknya berharap kaitan dengan temuan ini Pemprov Malut dibawah Dinkes bisa mengambil langkah-langkah solusi untuk proses keberlanjutan pembangunan. Sebab rumah sakit ini menyangkut pelayanan dasar, sehingga penting bagi masyarakat.
Selain itu, disebutkan Zulkifli juga bahwa ada temuan sekitar Rp. 1,4 Miliar menyangkut pembangunan gedung radiologi di Sofifi. Dimana pekerjaannya sudah hampir selesai sekitar 94 persen, namun kalender pekerjaan sudah selesai.
Menurutnya, Pemprov Malut diminta untuk menarik dana atau denda keterlambatan pekerjaan dari pihak rekanan yakni CV. MU yang mengerjakan pembangunan tersebut dengan nilai kontrak sebesar Rp. 13,36 Miliar.
“Rekomendasinya meminta kepada pemerintah untuk menarik dana atas keterlambatan pengerjaan terhadap gedung radiologi di Sofifi. Itu harus di tindak lanjuti. Meski pekerjaannya sudah 94 persen, namun pekerjaannya terlambat,” ungkapnya.
Disamping itu, ada pula hutang pemerintah kepada pihak rekanan tersebut sebesar Rp. 4 Miliar yang belum dibayarkan. Jadi antara hutang dan pengembalian, dimana pengembalian itu harus dikembalikan. Sementara hutang sekitar 4 miliar itu harus dibayar.
“Jadi pembangunam dengan kalender 120 hari mulai Agustus dan Desember tahun 2022 lalu itu, kemudian ditambah 60 hari masih tidak selesai maka kena denda keterlambatan,” ujarnya.
Zulkifli juga mengungkapkan jika pada RSU Sofifi ada temuan Rp. 1.6 Miliar berkaitan dengan Biaya Tak Terduga (BTT) kegiatan Covid-19 tahun anggaran 2022, yang pokok masalahnya tidak adanya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).
“Menurut keterangan dari Direktur RSU Sofifi, dirinya baru tahu ketika penyerahan LHP. Namun dia sudah menyerahkan LPJ kepada bendahara BTT untuk diverivikasi. Akan tetapi ini memang rekomendasinya pengembalian 1,6 Miliar,” kata Zulkifli.
“Sedangkan temuan di RSUDCB yakni terdapat pengembalian Rp. 600 juta, salah satu masalahnya adalah kelebihan pembayaran terhadap vendors penyedia oksigen sebesar Rp. 360 juta. Dimana sisanya ada dua masalah lagi, temuan ini sifatnya pengembalian,” pungkasnya.