Oleh : Muh. Rifdi Umasangadji
Persekusi dalam pendidikan nampaknya menjadi isu yang tiada henti, terlepas dari proses transformasi kognisi serta nilai yang secara terus menerus dieksekusi. Pendidik dan peserta didik, pada pendidikan nasional kita sama-sama berada dalam kondisi lemah, tersakiti dan tertindas.
Bagaimana tidak, belakangan isu pendidikan monoton diambil alih kekuasaan politik. Lagi-lagi sekelumit tanggung jawab moral pendidikan tak dianggap, lebih ditekankan bahwa pendidikan sebagai alat untuk langgengnya kekuasaan.
Dengan begitu dapat dikatakan jika mutu pendidikan kita bukan lagi soal “blaming the victims”, yang menyalahi korban bahwa individu bodoh karena dirinya sendiri, sekolah mundur bukan guru yang hilang patuh. Namun lebih dari itu, hal ini karena tajamnya intervensi politik.
Sudah menjadi rahasia umum, Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kita terlanjur baik dipermukaan, padahal di belakang penuh kasak-kusuk nepotisme, aktor politik mempersekusi atau memburu secara sewenang-wenang para pelaku pendidikan kita yang kemudian dipersulit.
Alih-alih menonjolkan aksi tanggap perbaikan tata kelola organisasi sekolah, akan tetapi anehnya selalu terjadi manakala dekat momentum pesta politik. Bahkan yang lebih sadis, “tim sukses” menjadi supervisor guru setelah pesta mereka keluar sebagai pemenang.
Alhasil dari semua itu, roling jabatan dan mutasi tenaga didik secara masal dilakukan oleh birokrasi atasan, yang beralibi evaluasi penyegaran dan perbaikan tata kelola. Namun selalu saja orang dekat menempati posisi kepala.
Di lain pihak, meminjam istilah Cakrabirawa merupakan pasukan elite politik kuasa, yang berperan menjadi supervisor pengintai guru, baik guru PNS maupun honorer dalam peninjauan jika membangkang akan dipindah, nyaris dinonjob.
Bukti akut penyakit birokrasi kita yang terkooptasi politik ini kemudian memperparah kondisi pendidikan. Dimana pendidikan bukan tema mencerdaskan kehidupan bangsa akan tetapi urusan kemenangan dan kepentingan golongan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas pada batang tubuhnya, terkhusus bab XI dalam pasal 39 sampai pasal 44 menjelaskan terkait hal dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan. Dimana pemerintah menjadi fasilitator mengenai segala keperluan pendidik.
Lebih lanjut dalam penjelasan ini, penempatan guru oleh pemerintah disesuaikan berdasarkan kebutuhan daerah dengan kualifikasi tertentu. Adapun tujuan promosi, sertifikasi, penghargaan yang mesti dikembangkan berdasar rasionalitas.
Jika melihat kondisi yang ada, tentu berbalik belakang dengan ketentuan Sisdiknas kita, oleh karena guru saat ini dalam menempati posisi, baik secara manja dan paksa menerima tanpa adanya rasionalitas kualifikasi dari pemerintah.
Diduga kuat proses penempatan tenaga pendidik kita tidak berdasar rasionalitas, lihat saja kebanyakan guru ditempatkan, dipindahkan dalam situasi sebelum, sesaat dan setelah proses perebutan politik kekuasaan.
Selain itu proses pembelajaran peserta didik diatas rata-rata dapat dikatakan tidak berjalan kondusif gegara menghadapi kisruh akibat rotasi dan mutasi tenaga pendidik di sekolah. Mirisnya siswa terbebani mencampuri urusan edan ini.
Para peserta didik terlibat memikul beban protes ke pemerintah dengan nilai plus siswa dapat mengasah kekritisan berpikir, namun akibat buruk besar ialah alokasi waktu belajar terkuras pada persoalan wewenang pemerintah kita.
Belum lagi akibat ini, pendanaan subsidi pendidikan dari negara untuk rakyat sebagian besar diberikan kepada siswa juga bagian dari kepentingan politik, artinya orang yang dengan akses kekuasaan lebih mendapatkan banyak peluang ketimbang orang yang nihil jejaring.
Tentunya, pendidikan kita yang diarahkan sesuai kebijakan publik (Public Policy), secara konsepsional mesti dilakukan untuk mencapai tujuan bernegara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945.
Namun kebijakan publik dilingkup pendidikan kita nampaknya mencerminkan dinamika yang tidak memihak terhadap tujuan bernegara, dalam pada itu yang terjadi adalah persekusi pedagogi dari aktor politik ke guru dan siswa, atas nama ketentuan berbasis hasil terjemahan pemerintah.
Sebelum melahirkan kebijakan publik yang patut disebut merusak nilai pendidikan kita, terdapat komunikasi gelap antara Cakrabirawa dengan pengambil kebijakan, komunikasi itu hasil dari supervisi atau peninjauan dari aktor politik atas aktifitas politik guru dalam hak pilihnya.
Hal ini patut disebut Neo-Supervisi (Supervisi Gaya Baru) yang dipraktikkan dalam dunia pendidikan kita, hasil dari perkawinan silang antara pendidikan dan politik ini telah melahirkan bayi imut bernama guru dan siswa adalah korban kebijakan publik.
Mengenai persoalan ini, lebih afirmatif ketika kita melihat aliran pendidikan kritis-progresif yang dipelopori tokoh pendidikan Brasil, yakni Paulo Freire. Pemikirannya mendobrak mitos-mitos kekuasaan dalam pendidikan, tujuannya menjadikan setiap individu terdidik harus sadar.
Pada soal inilah tulisannya tentang pendidikan kaum tertindas dan pendidikan sebagai praktek pembebasan sangatlah relevan. Pasalnya objektifikasi pendidikan hasil dari kooptasi politik benar-benar dialami oleh guru dan para siswa tanpa kesadaran kritis.
Oleh karena itu Paulo Freire dengan metode pendidikan dialogis mengatakan, dalam pendidikan tidak ada gap atau pembatas antara penguasa dan yang dikuasai, namun sejatinya pendidikan dapat membebaskan manusia.
Dengan pendidikan sebagai proses transformasi pengetahuan dan nilai, pendidik dan peserta didik diharapkan sadar dan tersadari oleh kondisi disekitarnya. Sehingga mampu untuk keluar dari The Culture Of Silent (Kebudayaan Bisu) dalam hal ini disebut juga kesadaran naif.
Paulo Freire melihat adanya skandal pendidikan, dimana masih adanya relasi kuasa, padahal menurutnya semua pelaku pendidikan harus menjadi subjek yang aktif dan kritis menjawab kondis sosial dimana Ia berada.
Maksud anak kelahiran Recife Amerika Latin ini, bahwa pemikiran kritis dan kreatif harus ada dalam pelaku pendidikan. Dimana kritis untuk mengerti permasalahan pokok yang dihadapi masyarakat, dan kreatif dalam upaya melahirkan terebosan menjawab kebutuhan masyarakat.
Sejauh ini dapat dikatakan jika konteks pendidikan kita terperangkap dalam kesadaran naif atau The Culture Of Silent, lantas brengseknya supervisor ala Neo-Supervisi terus berulang dari silih bergantinya rezim kekuasaan.
Maka konsep konsientisasi atau pendidikan kesadaran yang ditawarkan Paulo Freire harus menjadi inspirasi bagi kita agar sadari kondisi sosial disekitar kita. Disamping itu pemerintah kita lebih tepat ambil peran kesadaran kritis, sehingga kebijakan publik tak menampilkan relasi sosial memarjinalisasi.
Akhirnya Persekusi Pendidikan Ala Neo-Supervisi, Guru dan Peserta Korban “Pubilc policy” berpotensi menjadi tema di Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024 mendatang. Untuk ini, perlu adanya sikap aktif, kritis dan kreatif dari setiap pelaku pendidikan.