2024 Ajang “Selingkuh”, Politisi Dalam Potret Arif

Oleh : Muhammad Rifdi Umasangadji

Di hamparan tanah berdiri seorang bocah, tanah yang dipetak luasnya sekitar setengah lapangan sepak bola itu ditanami beberapa macam sayur-mayur. Disamping pisang yang tumbuh liar dan kelapa, kemudian sejumlah cokelat, pala sebagai tanaman tahunan.

Bocah yang sehari-harinya hidup dibawah terik matahari, nasib kehidupannya bergantung di atas tanah yang ditumbuhi nikmat Tuhan berupa tanaman tersebut.

Bocah berusia enam tahun ini, paginya ke sekolah dan siang tua harus memanggul tanggung jawab membantu ayah ibu ke kebun. Bocah ini bernama Arif, Ia berasal dari daratan Halmahera sebuah pulau berpostur “K”.

Ia sendiri dari keluarga yang hidup berkecukupan karena hasil-hasil panen pertanian, dengan itu pula Ia dapat berbelanja seragam untuk bersekolah.

Sedangkan hasil jerih payah dari menjemur cokelat, memetik pala serta mengasapi kelapa untuk menjadikannya kopra sudah dilakukan dari generasi ke generasi demi bertahan hidup.

Tahun demi tahun Arif lewati, menginjak usia ke belasan tahun, Ia semakin mengangguk kepala, dikepalan benaknya berisi ya atau tidak. Sesekali Ia mengerutkan dahi memercayai jika bukan benar berarti hal itu adalah kebatilan.

Selaku pelajar di bangku sekolah menengah pertama (SMP) nampaknya Ia mulai mengendus aroma kekacauan sosial.

Alamat sekolah Arif tepat di lereng salah satu bukit Halmahera, tak jauh dari bangunan sekolah mengalir sejuk sungai yang menjadi tempat permandian anak-anak, terpaut juga sebagai pencucian baju bagi para ibu rumah tangga.

Di depan pagar sekolah terdapat jalan raya yang tak semulus permukaan jalan menuju ke perkantoran para pejabat, dimana pada bibir jalan itu berdesiran bercak air akibat kaki anak-anak yang berlari melintasi jalan berlubang.

Dalam proses belajar di sekolah itulah mengajarkan Arif tentang banyak hal, utamanya menjadi orang yang arif bijaksana. Saat mengenyam pelajaran, yang tak sekritis aktivis yang pada akhirnya membebek di kekuasaan itu, semakin mewanti-wanti Arif tentang baik-buruk terhadap apa yang diberikan gurunya.

Dari seluruh mata pelajaran (mapel) terdapat lima yang ditekuninya, Geografi, IPS, Sejarah, PKN serta Agama, pelajaran Geografi dari wali kelasnya membuat dia paham arti kepemilikan terhadap tanah.

Dari sejarah dia sadar jika dahulu orang-orang Eropa datang menjajah karena kekayaan alam Nusantara beserta misi yang dibawa mereka. Terlepas dari masa silam, Ia menggeluti sedikit sosial dengan dagu melentik seolah menilai kisruh dan kasak-kusuk ternyata sengaja dibuat oleh beberapa aktor demi kuasa dan takhta.

Sekali lagi alis keningnya berkerut, menilai lagi ternyata selama ini segregasi sosial terjadi akibat politik kekuasaan. Sementara melalui agama dia percaya Tuhan masih ada, Tuhan tidak sebagaimana gagasan Frederick Nitze God Is Dead (Tuhan Telah Mati). Namun Tuhan Allah SWT. dengan bahasa firman menegaskan, “Dan Kami menghendaki untuk memberikan pertolongan kepada kaum tertindas di muka bumi, untuk Kami jadikan mereka itu pemimpin-pemimpin dan Kami jadikan pula mereka itu pewaris-pewaris,” (QS. Al-Qashash : 25).

Didalam ajaran PKN, Arif sedikit mengerti pengertian tata negara tentang Trias Politika, kerangka dasar eksekutif legislatif dan yudikatif. Kemudian sistem demokrasi Indonesia dan tahapan pelaksanaan pemilihan umum demi menentukan pemimpin, baik untuk eksekutif yakni Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota. maupun kursi di legislatif DPD, DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Terlepas dari Mapel yang dipelajarinya, dikesempatan senggang waktu yang sedikit lama karena telah habis semester di sekolah, benar-benar Ia memakai jubah petani membantu ayah ibu di kebun meraka.

Maka Arif yang berambut sedikit ikal, kulitnya sawo matang menggeliat di atas para-para kopra, seperti orang yang baru saja selesai tidur pulas diranjang hotel. Padahal tidak, otot-ototnya merasa pegal usai mengorek isi ratusan kelapa.

Saat beristirahat muncul suara berdesir memecah ruang alam, di waktu yang sama nama Arif bergema ternyata Ia didatangi seorang yang lebih tua darinya. Lantas keduanya berbincang dibawah terpal pelindung para-para.

Percakapan mengalir hangat, mereka saling menukar gagasan dan bersahut-sahutan. Rupanya orang lebih tua itu memantik Arif membaca peta dan bursa calon pemimpin di Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung tahun 2024 mendatang.

Mulai dari Presiden hingga DPR-RI menjadi topik, tak kalah menarik Gubernur Bupati/Walikota dan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota menjadi opsi yang diseriusi.Ditengah percakapan itu, Arif lalu mengangguk kepala mengatakan semua jabatan itu diperjuangkan oleh para politisi dengan partainya masing-masing bukan.

Orang lebih tua itu sebelum menjawab meneguk secangkir kopi, menawarkan kepada Arif yang telah menjamunya. Arif tersenyum manis sembari menohok wajah mempersilahkan tamu gagasan itu menikmati kopi rempah yang telah disajikannya.

Kemudian orang lebih berumur itu menyetujui Arif jika benar mereka adalah para politisi yang siap beradu jotos di mimbar demokrasi nanti. Dan kemarin sahut Arif, DPR-RI sudah ketuk palu pengesahan UU Pemilu, tentunya hal ini tanda jika genderang perang politisi siap ditabuh di Februari Tahun 2024.

Seorang yang lebih tua itu pun tertegun lalu berhenti menyalur kata-kata ketika Arif menyebutkan jika Pemilu Tahun 2024 itu akan terjadi ajang “per-selingku-han” masal para politisi. Bagaimanakah selingkuh politisi berlangsung ?.

Kata selingkuh lebih erat kaitannya dengan pembicaraan hubungan suami isteri atau dalam berpacaran. Dimana terdapat pengkhianatan yang dilakukan satu pihak dan mengecewakan pihak lain. Selingkuh juga merupakan tindakan penyelewengan dikarenakan atas perbuatan yang diam-diam dilakukan itu membawa dampak pertikaian, perpecahan dan perpisahan.

Bisa diartikan sebagai hubungan gelap yang ujungnya mengecewakan orang yang menjadi korban selingkuh. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan jika kata selingkuh berarti menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak terus terang, tidak jujur. Selingkuh juga menggelapkan uang atau korup, dan Selingkuh berarti pula menyeleweng.

Lantas bagaiman hubungan kata selingkuh dengan politisi sebagai aktor yang hidupnya habis digunakan untuk menjalankan mesin politik kekuasaan?.

Arif masih menuturkan, kalau politisi baik yang mencalonkan diri di panggung eksekutif maupun legislatif punya keinginan besar untuk meraup suara terbanyak agar bisa dilantik dan sah menjadi pemegang kewenangan. Tentunya akan dilakukan pelbagai cara oleh para politisi demi menggemgam kekuasaan.

Perihal berbagai cara yang dilakukan oleh politisi yang hendak mendapati kekuasaan itu telah diulas oleh Niccolo Machiavelli, bahwa mesin politik kekuasaan lazimnya dijalankan dengan menghalalkan segala cara, upaya tersebut dilakukan agar dapat merebut dan mempertahankan kekuasaan. Disini peran ganda sekaligus dilakukan politisi, praktis politisi kadang licik kadang jahat laiknya singa.

Tidak heran dalam cara pertama, yakni kancil itulah politisi memprakarsai “politik balas budi”, seperti sebuah Peribahasa dari Sumatera yang pernah disampaikan Tan Malaka, “Ada ubi ada talas, ada budi ada balas,”.

Realita di lapangan cukup kuat mengabarkan bahwa dapur politisi sebagaian besar mendapat donor dari pengusaha.Dari yang kecil hingga pertarungan berskala besar politisi meminta suaka untuk membiayai kegiatannya selama tahapan pemilu berlangsung.

Mahar politik yang mahal cukup memberatkan politisi tentunya, dan konsekuensi logis dari itu semua balas budi menjadi beban politisi. Praktek mencari suaka dan ditopang pengusaha inilah menjadi satu indikator perselingkuhan dikarenakan sejak pertama digadang-gadang dalam bursa pencalonan sudah ada hubungan gelap dengan pihak ketiga.

Banyak dampak dari hasil hubungan gelap itu, antara lain konflik tanah tak ada habisnya, merampok kekayaan alam dengan kerusakan ekologi sengaja diabaikan karena dapat dikatakan menjadi bagian dari mahar politik tentunya.

Fakta politik juga memberitakan hubungan penyimpangan lain sebagai indikator perselingkuhan kedua, dimana birokrasi turut terkooptasi selingkuh diajang pemilu.

Betapa tidak, birokrat yang kehidupannya menjalankan mesin pemerintahan terjun mencari suaka demi iming-iming jabatan. Pada akhirnya biaya politisi ketika berhasil menang berwujud nespotis dan ego sektoral, orang dalam pun berlaku dalam mesin birokrasi.

Atau lain kata akses dan prioritas pelayanan kepada masyarakat dilakukan jika ada hubungan dekat dengan politisi yang sudah mendapatkan kekuasaan, sementara orang jauh dinomorduakan.

Aspek pelayanan kegiatan fisik dan sebagainya juga paling nyata, dimana pemenang tender sebuah proyek ditaksir secara rata-rata bukan kualitas pekerjaan yang dilihat tetapi orang terdekat sebagai hasil dari hubungan gelap atau perselingkuhan.

Sedangkan hal tersebut diatas berlangsung dapat dibilang karena ada komunikasi koersif yang sifatnya memerintah antara politisi ke birokrasi, ini merupakan peran Singa sebagaimana konsep kedua dari Machiavelli.

Sementara bagi Arif dirinya tidak pantas lagi ditimpuk kebohongan terstruktur ini, sebab sudah menjadi rahasia umum. Sejalan dengan persoalan ini, dalam buku Saiful Deni tentang “Selingkuh Birokrasi”, dengan anak judul “Korupsi, Dilema dan Harapan Inovasi Pemerintahan” juga menyentil fakta-fakta perselingkuhan antara politisi birokrasi dan pengusaha.

Pada buku itu Saiful bilang penyelewengan terjadi dalam pelayanan pemerintahan karena ada perselingkuhan akut dalam tubuh birokrasi, selain itu disfungsional atau kemandulan peran legislatif mulai dari legislasi, penganggaran dan pengawasan terjadi juga gegara mahar politik yang harus dibayar.

Ini merupakan anak hasil perselingkuhan. Tentu elektorat atau konstituen sebagai pemilih harus mampu menakar kelayakan pemimpin yang mana tidak lahir dari hubungan perselingkuhan, akan tetapi benar-benar diusung oleh konstituen sendiri.

Hal ini diupayakan agar ada perubahan total dalam aspek pelayanan, dan peran yang betul-betul dijalankan oleh wakil konstituen di kursi legislatif. Pada akhirnya Arif yang tak lagi bocah, memandang cakrawala luas berharap ada perubahan di ajang per-selingku-han 2024.

Sebelum beranjak dari sepetak tanah yang menghidupi dia dan keluarganya itu, Arif menggantung doa-doa dilangit biru agar tanah milik moyangnya yang sudah diwarisi dari generasi ke generasi bisa selamat dari cengkraman kuku-kuku besi Eksafator.

Dan ketika pulang dari belukar hutan menuju rumah, dia dengan menenteng sebilah parang masih percaya jika parang saja diasah bisa tajam apalagi otak manusia. Harapan pendidikan juga menjadi lamunan Arif dalam perjalanan menuju rumah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.