HUT Provinsi Malut ke-20, Gubernur Dinilai Lemah Koordinasi dan Gagal Bangun Sinergitas

Sofyan Daud, Anggota DPRD Maluku Utara dapil I dari PBB

SOFIFI, MALUTTODAY.com – Memasuki usia yang ke-20 tahun Provinsi Maluku Utara,  sejak resmi ditetapkan pada tanggal 12 Oktober 1999  berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 tahun 1999 tentang pembentukan  Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, sejak itu pula Provinsi Maluku Utara mulai mandiri melakukan pembanguan.

20 tahun sudah selayaknya menjadi usia yang cukup untuk bercermin tentang sejauh mana progres pembangunan yang sudah dicapai atau bahkan stagnan, salah satu pejuang pemekaran Provinsi Maluku Utara, Sofyan Daud yang kini juga telah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku Utara dari Partai Bulan Bintang (PBB) dapil I (Ternate-Halbar) memiliki catatan tersendiri terhadap perjalanan Provinsi yang lebih dikenal dengan Maloku Kie Raya yang sudah berusia dua dekade ini.

“Memang perlu adanya evaluasi dari semua pihak terutama gubernur sebagai penerima mandat  untuk menjalankan pemerintahan dengan baik, meskipun jalannya pembanguan seret atau lambat tetapi tidak dapat dinafikan bahwa ada bekas pembangunan itu,” kata lelaki yang biasa dipanggil Abang Sof saat membuka percakapan di press room kantor DPRD di Sofifi, Sabtu (12/10/2019).

Abang Sof menyebutkan, ada alasan bahwa lambatnya pembanguan dilihat dari durasi waktu selama 20 tahun ini dikarenakan Maluku Utara mengalami konflik horizontal, sehingga dibutuhkan waktu untuk pemulihan kembali. Akan tetapi menurutnya, pemulihan kembali seharusnya tak selama 20 tahun, waktu ideal yang dibutuhkan adalah cukup 5 tahun saja.

“Orang sering ber-apologies bahwa provinsi ini lahir di tengah konflik, akan tetapi waktu 5 tahun saya kira cukup untuk recovery,  dan 15 tahun sesudahnya adalah waktu bagai gubernur untuk memberikan sesuatu yang terbaik untuk percepatan pembangunan daerah ini,” ungkapnya.

Selama ini menurutnya, permasalahan yang paling mendasar adalah pemerintah provinsi tidak memiliki fokus apa yang harus dilakukan untuk pembangunan, seperti perencanaan yang baik dan sinergitas antar kabupaten dan kota, fungsi gubernur sebagai koordinator untuk  mengkoordinasikan pembangunan lintas kabupaten dan kota.

“Katakanlah bahwa sinergitas yang dikoordinir oleh gubernur ini berkaitan dengan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia dan pemanfaatan potensi alam berbasis kabupaten, dimana 10 daerah ini menemukan formulasi yang tepat untuk saling mengisi satu dengan yang lain,” paparnya.

Dia mencontohkan potensi alam pada sektor pertanian yang tersebar pada bebebrapa lokasi di Halbar, Haltim dan Kota Tidore kepulauan bisa dikembangkan, karena pangsa pasar paling besar dan menjanjikan ada di Kota Ternate, sehingga tidak lagi melakukan impor dari luar, karena sudah dapat mencukupi sendiri kebutuhan dalam daerah, selain itu efeknya langsung dirasakan oleh petani lokal.

“Komoditi yang paling potensial adalah dari sektor pertanian dan perikanan, ini juga menyerap tenaga kerja yang sangat banyak, kita tahu betul bahwa 60 sampai 70 persen populasi masyarakat Maluku Utara bergerak disektor itu. Akan tetapi itu tadi dibutuhkan kemampuan koordinasi yang baik dari gubernur untuk bisa melakukan itu, saya kira jika ini dilakukan maka kita akan sudah selangkah atau beberapa langkah lebih maju ke depan,” jelasnya.

Yang terjadi selama ini adalah setiap kabupaten dan kota bergerak secara parsial, kabupaten kota bergerak dengan sekemanya tersendiri tanpa ada koordinasi, Sofyan mencontohkan pernah terjadi surplus tomat di Tidore, sementara disaat yang bersamaan terjadi impor tomat besar-besaran di Ternate yang membuat petani merugi, mestinya pemerintah melakukan intervensi untuk mempertemukan ini agar saling menguntungkan.

“Dibutuhkan duduk bersama dan membuat sekenario untuk pembiayaan dan apabila adanya sinergitas antara daerah maka sangat mungkin dapat mengakses dana pusat, tetapi kata kuncinya yaitu koordinasi,” tegasnya.

Dia mencontohkan, kerja sama segitiga emas antara Ternate , Tidore dan Halbar, yang sangat menguntungkan, dimana orang Halbar yang menanan sayur kol kemudian dibeli oleh pelaku pasar di Ternate yang pada saat itu dapat menghasilkan miliaran rupiah.

“Tetapi hal inikan tidak dilihat oleh gubernur untuk meneruskan dan menjadi koordinator, untuk melakukan intervensi dan membuat regulasi yang mendukung iklim perekonomian di daerah ini, itu yang harus dilakukan oleh gubernur jika ingin daerah ini maju,” pungkasnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *